Sebanyak 16.800 siswa SMP/SMA se Kota-Padang, Sumatera Barat, Kamis (24/4) berhasil meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Penghargaan itu diberikan karena Padang menjadi kota pertama yang berhasil memecahkan rekor pembacaan asmaul husna.
Pembacaan ayat-ayat tersebut dilaksanaan di GOR H Agus Salim, Padang. Selain dihadiri oleh siswa SMP/SMA, acara tersebut juga dihadiri oleh para undangan yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang ada di kota tersebut.
Meski berhasil memecahkan rekor MURI, namun panitia setempat sebenarnya merencanakan pembacaan asmaul husna bisa dilakukan oleh sedikitnya 18 ribu siswa/i. Selain itu, direncanakan pula pembacaan tersebut diikuti sekitar 15 ribu penonton.
Walikota Padang, Fauzi Bahar, yang menerima piagam penghargaan tersebut dari MURI, mengaku sangat terharu dengan dedikasi yang diberikan para siswa. Menurut dia, rekor tersebut sangat pantas dihadiahkan kepada mereka.
Sebelum resmi dipecahkan oleh Kota Padang, rekor pembacaan asmaul husna sebelumnya dipegang oleh Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Balikpapan memegang rekor itu setelah 2.000 siswa/i di kota tersebut berhasil membacakan asmaul husna secara serentak.
Penyerahan penghargaan sendiri dilakukan disela-sela pembukaan Lomba Asmaul Husna Antar SLTP/SLTA se Kota Padang dalam rangka memperingati hari kebangkitan nasional dan hari pendidikan nasional tahun 2008.
Hadir pada kesempatan tersebut Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault dan sejumlah pejabat teras Provinsin Sumbar. Selain memberikan penghargaan kepada siswa/i yang membacakan, pada kesempatan itu MURI juga memberikan penghargaan kepada panitia yang membantu pelaksanaan acara pemecahan rekor tersebut.
Dalam sambutannya, menpora mengungkapkan kesan istimewanya terhadap acara tersebut. Menurut dia, pengenalan ayat-ayat asmaul husna sangat penting dilakukan oleh semua umat Islam.''Asmaul husna memiliki konten yang sangat bagus dan memberikan faedah yang banyak,''ucap Dault.
Dault mengungkapkan, banyak sekali dampak positif yang bisa didapatkan dari membaca asmaul husna. Diantaranya, generasi muda akan terlatih untuk hidup lebih baik dan menjauhi hal-hal yang negatif.
Bahkan, jelas Dault, jika ayat-ayat asmaul husna bisa dicerna dengan sangat baik, di dalamnya banyak sekali faedah yang bisa diterapkan dalam kehidupan.''Bisa juga untuk mencegah penyebaran narkoba dan sejenisnya,''tandas dia.
Dault berharap, dengan gerakan massal membaca asmaul husna, pemerintah ke depan bisa semakin meningkatkan kualitas hidup generasi muda. Karena, kata dia, diharapkan pada 2020 mendatang bisa menjadi tahun emas bagi generasi muda di Indonesia.
Namun sayang, acara akbar tersebut sedikit terganggu ketika banyak siswu SMA/SMP yang mengalami pingsan saat sedang berada di tengah lapangan. Diperkirakan, siswi yang pingsan mencapai ratusan orang. Mereka kemudian dibawa ke pos kesehatan yang disediakan panitia.
Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo yang akrab dengan panggilan Buya Hamka, lahir 16 Februari 1908, di Ranah Minangkabau, desa kampung Molek, Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang - Tanjung Sani, 12 Rabi’ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki ‘izzah, tegas dalam aqidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Beliau sangat peduli terhadap urusan umat Islam, sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah Islamiyah, menghindari perpacahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin.
Ketika dihembuskan opini tentang cerdas dan pintarnya orang-orang Yahudi Israel, sehingga dapat mengalahkan pasukan Arab dalam perang Arab-Israel. Maka Buya meluruskan pemahaman tersebut melalui tulisan beliau di dalam Tafsir Al-Azhar, Juzu’ 1, halaman 221:
“Sebab yang utama bukan itu, Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batinnya yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang – orang yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam.
Islam telah mereka tukar dengan Nasionalisme Jahiliyah, atau Sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya, lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan idiologi Islam, dituduh Reaksioner. Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan, lalu ditonjolkan Karl Marx, seorang Yahudi.
Jadi untuk melawan Yahudi mereka buangkan pemimpin mereka sendiri, dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi. Dalam pada itu kesatuan akidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi - ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab sedang bersedih karena kekalahan, Negara Republik Indonesia yang penduduknya 90% pemeluk Islam, tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobati hati negara-negara itu, melainkan mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang Kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapus Islam dari negaranya.
Ahli – ahli Fikir Islam modern telah sampai kepada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu, sebelum orang Arab khususnya dan orang–orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya, atau negara-negara Kapitalis dengan Christianismenya, yang membantu dengan moril dan materil berdirinya Negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menentang Arab karena dia Arab, melainkan menentang Arab karena dia Islam”.
Di Juzu’ VI, halaman 307, Buya juga menjelaskan konspirasi negara-negara Eropa dan Amerika dalam pendirian “ Negara Israel”, “Yaitu mereka jajah Palestina, mereka rampas dari tangan Turki. Lalu diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Boulfour (seorang Yahudi), kepada kaum Zionis, gerakan Yahudi terbesar di zaman ini, supaya mereka membuat negara di sana. Sehabis Perang Dunia Kedua disuruhlah orang Yahudi membentuk Negara Israel di Palestina”.
Buya Hamka berpulang ke Rahmatullah, 24 Juli 1981, telah meninggalkan warisan dan pelajaran yang sangat berharga untuk ditindak lanjuti oleh genarasi Islam, yaitu istiqamah dalam berjuang, menjaga persatuan umat dan peduli terhadap urusan kaum Muslimin.
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."(QS: Al-Hasyr/59: 10). (fn).
Gubernur Sumbar, H. Gamawan Fauzi mendukung keputusan Pemko Bukittinggi yang melarang semua acara dan bentuk kegiatan menyambut Valentine’s Day(hari kasih sayang).
“Kita umat Islam sudah jelas hari-hari pentingnya, kapan kita puasa dan lainnya,” ujarnya saat menjawab wartawan di sela-sela kegiatan di Kantor Bank Indonesia, Padang, Rabu (13/2) kemarin.
Fauzi mengatakan,Islam telah memiliki hari-hari besar dalam agama sendiri. Jadi, kaum Muslimin tidak perlu lagi merayakan hari yang bukan menjadi hari besar agama Islam.
Apalagi, soal berkasih sayang, Islam telah mengajarkan umat untuk saling menyayangi dan mengasih sesama umat. Bukan satu hari saja, sebagaimana makna dari Valentine' Day tersebut. “Kita berkasih sayang kan bukan satu hari saja, setiap waktu kita diharapkan untuk memberikan kasih sayang kepada sesama umat,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, langkah berani ini diambil pihak pemerintah kota Bukittinggi setelah melaksanakan musyawarah bersama dengan Muspida hari Selasa lalu. Dengan hasil musyawarah ini, mulai hotel, restoran dan berbagai jenis kegiatan yang mengadakan acara Valentine’s Day(hari kasih sayang) dilarang.
Pemerintah kota itu juga melarang acara yang bernuansa maksiat tersebut. Boleh jadi, ini satu-satunya sikap tegas di Indonesia. Walikota Bukittinggi, Drs. H. Djufri, didampingi Wakil Walikota, H. Ismet Amzis, SH., dan Sekda Drs. H. Khairul, menyampaikan hal itu dalam jumpa pers, Selasa (12/2) kemarin. Jumpa pers itu juga dihadiri PHRI Bukittinggi, Kakan Kesbanglinmas, Kakan Sat Pol PP, Kakan Perhubungan, Kakan Pariwisata, Seni dan Budaya, dan Kabag Humas.
“Saya sangat banyak menerima pesan pendek lewat telepon selular saya. Yang intinya melarang adanya perayaan Valentine’s Day di Bukittinggi. Masukan dari masyarakat itu dimusyawarahkan dengan Muspida, dan ternyata Muspida sepakat di Bukittinggi tidak ada acara perayaannya,” tegas Walikota.
Selain banyaknya pesan pendek dari warga, seluruh wartawan yang bertugas di Bukittinggi, juga berharap yang sama. Warga tidak ingin di tanahnya ini ada acara yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Setelah dipelajari ternyata Valentine’s Day itu bukanlah budaya bangsa ini.
“Ajaran agama yang kita anut, yakni Islam melarang acara seperti itu. Meski labelnya hari kasih sayang, toh bila sudah dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan, maka dia jadi terlarang. Agama apapun di muka bumi ini tidak membolehkan penganutnya melakukan perbuatan maksiat,” katanya.
Walikota juga menghimbau seluruh warga kota, terutama keluarga yang mempunyai anak perempuan atau anak gadis, agar tidak membolehkan anak gadisnya keluar malam, kecuali dengan alasan penting. Karena selain Pemko dan jajarannya, warga sendiri juga berkewajiban membantu menertibkan kota ini.
Untuk lebih terpadunya pengawalan pada malam Kamis lalu, Pol PP bekerjasama dengan Polresta Bukittinggi, Kantor Perhubungan, Kantor Pariwisata dan Kantor Kesbanglinmas melakukan penjagaan di titik-titik rawan dalam kota, di hotel-hotel baik berbintang maupun hotel melati, rumah makan dan restoran serta tempat-tempat keramaian lainnya. Coba semua pemimpin di Indonesia tegas seperti ini. [hsg/cha/www.hidayatullah.com]
Hidayatullah.com--Mejelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, perayaan Valentine dikategorikan amalan yang haram. Pernyataan ini disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, KH.Ma'ruf Amin.
Menurut Kiai Ma’ruf, tata cara dengan pesta yang biasa dirayakan dalam acara Valentine tak dikenal dalam Islam dan cenderung haram. Sebagaimana diketahui, acara Valentina, biasa diperingati dengan cara mabuk-mabukkan, pesta-pesta dan bahkan pertemuan lawan jenis yang bukan suami-istri.
Meski demikian, MUI tidak mengeluarkannya menjadi sebuah fatwa khusus. “Hari Selasa kemarin komisi fatwa berkumpul dan membicarakan. Namun, kami tak mengeluarkan menjadi fatwa khusus,” demikian ujar Kiai Ma’ruf kepada hidayatullah.com Kamis (14/2) pagi melalui sembungan telepon.
Ma'ruf menjelaskan, yang haram bukan hari Valentine-nya, tapi perayaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperingati hari cinta tersebut. Namun cara memperingatinya yang haram karena sudah banyak yang menyimpang," tambahnya.
Sebelum ini, di Arab Saudi mufti, Syeikh Abdul Aziz al-Sheikh pernya menfatwakan, peringatan mengenang santo (sebuah tradisi Kristen) ini termasuk jenis “penyembah berhala”.
Tahun 2004 lalu, acara Valentine’s Day di Filipina ditandai dengan mencetak rekor dunia “ciuman massal”. Tidak kurang 5.122 pasangan antre di Manila, ibu kota negara itu, untuk berciuman selama paling tidak 10 detik guna merayakan Valentine. [cha/hid/www.hidayatullah.com]
Tiap tahun, ratusan santri di pesantren ”diboyong” ke luar negeri. Dengan dana besar dari Barat, penyebaran liberalisme ke pesantren terus gencar.
Suatu hari, salah seorang utusan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) mendatangi KH Kholil Ridwan, ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPPI) se-Indonesia. Utusan ini menyampaikan ajakan kepada Kholil untuk “bertamasya” ke Negeri Paman Bush tersebut. Semua fasilitas dijamin, termasuk uang saku yang tak sedikit. Sungguh tawaran yang menggiurkan!
Tentu saja Kholil tak mau memenuhi undangan tersebut. Ia tahu ada niat tersembunyi di balik ajakan itu. Namun, belum sempat penolakan disampaikan, undangan tersebut buru-buru dicabut. ”Mereka tahu saya ini anti Amerika,” ujar Kholil kepada Suara Hidayatullah.
Kholil tak sendiri menerima ajakan tersebut. Sejumlah kiai juga menerima ajakan serupa. Bedanya, mereka mau memenuhinya, Kholil tidak.
Maka, setelah itu, silih berganti kiai-kiai mendapat jatah terbang gratis ke negara AS. Selama di sana, mereka dilayani bagai tamu istimewa. Mereka diajak melihat ”realitas” masyarakat AS.
Hasilnya sungguh fantastis. Mereka yang sejak awal bersuara lantang terhadap kekejaman AS di Irak, Afghanistan, dan negeri Islam lainnya, mulai bersuara parau, jika tak ingin dikatakan lembek. Kata mereka, rakyat AS itu tidak sejahat pemerintahnya.
Menurut Kholil, inilah tanda keberhasilan AS mengubah cara pandang negatif masyarakat Muslim terhadap negaranya. Ini pula awal penyusupan paham liberal ke pesantren.
Meski begitu, tak berarti pesantren yang kiainya terkena bujuk rayu AS langsung dicap sebagai liberal. Mereka hanya perlu diwaspadai. Sebab, upaya AS tentu tak akan berhenti sampai di sini. Mereka akan terus berupaya menyusupkan pemikiran liberalnya ke dalam pesantren tersebut. Sekali kena jaring, boleh jadi selanjutnya kembali terperosok.
Menurut pemerhati pemikiran-pemikiran Barat, Adian Husaini, program Barat sekarang ini ingin membuat ”Islam yang lain” menurut versi mereka. ”Tentu yang menjadi sasaran utama adalah pesantren dan perguruan tinggi Islam sebagai tempat strategis pembinaan umat,” tandasnya.
Muncullah pertanyaan di benak kita, mengapa pesantren begitu mudah disusupi mereka? Apa yang salah? Bagaimana pula pemikiran liberal itu bisa menyusup ke ruang-ruang mengaji di pesantren?
Setidaknya, kupasan Suara Hidayatullah dalam Laporan Utama kali ini bisa menambah khazanah pengetahuan bagi jutaan orangtua yang ingin memasukan anaknya ke pesantren. Selamat membaca.
***
Proyek besar penyebaran liberal ke pesantren disinyalir didanai oleh LSM asing yang cabangnya berada di Indonesia, yaitu The Asia Foundation (TAF). Lembaga donor yang disponsori Barat ini telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1955. Beberapa ormas dan lembaga Islam menjadi mitra utama mereka.
Dalam situs resminya www.asiafoundation.org lembaga yang menjadi perpanjangan tangan para saudagar Yahudi ini banyak membantu LSM Indonesia yang giat menyosialisasikan sekularisme, pluralisme dan liberalisme (baca; SePiLis). Sebut saja, misalnya, Jaringan Islam Liberal (JIL), P3M, International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Wahid Insitute, Maarif Institue, MADIA, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
Laporan tahunan TAF 2006 menyebutkan, sejak tahun 2000 mereka telah membuat kurikulum kewarganegaraan yang mendukung nilai-nilai demokrasi, mendorong siswa berpikir kritis terhadap isu-isu demokrasi, HAM, dan pluralisme agama. Untuk mewujudkan ini mereka menggandeng CCE Indonesia (pusat pendidikan kewarganegaraan).
Kurikulum itu kini telah menjadi materi wajib di seluruh UIN dan IAIN di seantero Indonesia. Bahkan, mereka tengah berupaya mengembangkan kurikulum serupa untuk diterapkan di universitas Islam swasta.
Para mitra TAF telah memberikan pelatihan kurikulum baru ini kepada 90 dosen kewarganegaraan dari 66 universitas Islam swasta pada tahun 2006. Para dosen tadi sudah mulai mengajarkan kurikulum tersebut kepada sekitar 20.000 mahasiswa mereka.
Diajak Dansa, Jilbab Dibuka Saat mengikuti program pertukaran pelajar di Amerika Serikat, David Adam Al Rasyid merasakan betapa bebas pergaulan di sana. Saking bebasnya, ada peserta dari negara lain yang tak tahan.
”Peserta dari Saudi dan Jerman pulang sebelum program selesai,” ujar santri Pondok Pesantren As-Salam, Surakarta, itu.
Bagaimana dengan pelajar dari Indonesia? ”Banyak juga teman-teman yang ikutan dugem,” jawab David. Dugem adalah singkatan dari dunia gemerlap, yaitu kehidupan malam di diskotik dan cafe. David sendiri mengaku tak pernah ikut-ikutan.
Ironisnya, ada salah satu peserta Muslimah yang rela melepas jilbab saat diajak berdansa. “Supaya tidak malu, ia lepas jilbabnya. Tapi, dia dari SMU luar (bukan pesantren),” kenangnya. Nau'zubillah minzalik! [diambil dari Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2008/www.hidayatullah.com ]