Kamis, 24 April 2008

Padang Pecahkan Rekor Baca Asmaul Husna

Sebanyak 16.800 siswa SMP/SMA se Kota-Padang, Sumatera Barat, Kamis (24/4) berhasil meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Penghargaan itu diberikan karena Padang menjadi kota pertama yang berhasil memecahkan rekor pembacaan asmaul husna.

Pembacaan ayat-ayat tersebut dilaksanaan di GOR H Agus Salim, Padang. Selain dihadiri oleh siswa SMP/SMA, acara tersebut juga dihadiri oleh para undangan yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang ada di kota tersebut.

Meski berhasil memecahkan rekor MURI, namun panitia setempat sebenarnya merencanakan pembacaan asmaul husna bisa dilakukan oleh sedikitnya 18 ribu siswa/i. Selain itu, direncanakan pula pembacaan tersebut diikuti sekitar 15 ribu penonton.

Walikota Padang, Fauzi Bahar, yang menerima piagam penghargaan tersebut dari MURI, mengaku sangat terharu dengan dedikasi yang diberikan para siswa. Menurut dia, rekor tersebut sangat pantas dihadiahkan kepada mereka.

Sebelum resmi dipecahkan oleh Kota Padang, rekor pembacaan asmaul husna sebelumnya dipegang oleh Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Balikpapan memegang rekor itu setelah 2.000 siswa/i di kota tersebut berhasil membacakan asmaul husna secara serentak.

Penyerahan penghargaan sendiri dilakukan disela-sela pembukaan Lomba Asmaul Husna Antar SLTP/SLTA se Kota Padang dalam rangka memperingati hari kebangkitan nasional dan hari pendidikan nasional tahun 2008.

Hadir pada kesempatan tersebut Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault dan sejumlah pejabat teras Provinsin Sumbar. Selain memberikan penghargaan kepada siswa/i yang membacakan, pada kesempatan itu MURI juga memberikan penghargaan kepada panitia yang membantu pelaksanaan acara pemecahan rekor tersebut.

Dalam sambutannya, menpora mengungkapkan kesan istimewanya terhadap acara tersebut. Menurut dia, pengenalan ayat-ayat asmaul husna sangat penting dilakukan oleh semua umat Islam.''Asmaul husna memiliki konten yang sangat bagus dan memberikan faedah yang banyak,''ucap Dault.

Dault mengungkapkan, banyak sekali dampak positif yang bisa didapatkan dari membaca asmaul husna. Diantaranya, generasi muda akan terlatih untuk hidup lebih baik dan menjauhi hal-hal yang negatif.

Bahkan, jelas Dault, jika ayat-ayat asmaul husna bisa dicerna dengan sangat baik, di dalamnya banyak sekali faedah yang bisa diterapkan dalam kehidupan.''Bisa juga untuk mencegah penyebaran narkoba dan sejenisnya,''tandas dia.

Dault berharap, dengan gerakan massal membaca asmaul husna, pemerintah ke depan bisa semakin meningkatkan kualitas hidup generasi muda. Karena, kata dia, diharapkan pada 2020 mendatang bisa menjadi tahun emas bagi generasi muda di Indonesia.

Namun sayang, acara akbar tersebut sedikit terganggu ketika banyak siswu SMA/SMP yang mengalami pingsan saat sedang berada di tengah lapangan. Diperkirakan, siswi yang pingsan mencapai ratusan orang. Mereka kemudian dibawa ke pos kesehatan yang disediakan panitia.




Rabu, 20 Februari 2008

Buya Hamka dan Palestina

Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo yang akrab dengan panggilan Buya Hamka, lahir 16 Februari 1908, di Ranah Minangkabau, desa kampung Molek, Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang - Tanjung Sani, 12 Rabi’ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki ‘izzah, tegas dalam aqidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Beliau sangat peduli terhadap urusan umat Islam, sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah Islamiyah, menghindari perpacahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin.

Ketika dihembuskan opini tentang cerdas dan pintarnya orang-orang Yahudi Israel, sehingga dapat mengalahkan pasukan Arab dalam perang Arab-Israel. Maka Buya meluruskan pemahaman tersebut melalui tulisan beliau di dalam Tafsir Al-Azhar, Juzu’ 1, halaman 221:

“Sebab yang utama bukan itu, Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batinnya yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang – orang yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam.

Islam telah mereka tukar dengan Nasionalisme Jahiliyah, atau Sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya, lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan idiologi Islam, dituduh Reaksioner. Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan, lalu ditonjolkan Karl Marx, seorang Yahudi.

Jadi untuk melawan Yahudi mereka buangkan pemimpin mereka sendiri, dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi. Dalam pada itu kesatuan akidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi - ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab sedang bersedih karena kekalahan, Negara Republik Indonesia yang penduduknya 90% pemeluk Islam, tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobati hati negara-negara itu, melainkan mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang Kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapus Islam dari negaranya.

Ahli – ahli Fikir Islam modern telah sampai kepada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu, sebelum orang Arab khususnya dan orang–orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya, atau negara-negara Kapitalis dengan Christianismenya, yang membantu dengan moril dan materil berdirinya Negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menentang Arab karena dia Arab, melainkan menentang Arab karena dia Islam”.

Di Juzu’ VI, halaman 307, Buya juga menjelaskan konspirasi negara-negara Eropa dan Amerika dalam pendirian “ Negara Israel”, “Yaitu mereka jajah Palestina, mereka rampas dari tangan Turki. Lalu diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Boulfour (seorang Yahudi), kepada kaum Zionis, gerakan Yahudi terbesar di zaman ini, supaya mereka membuat negara di sana. Sehabis Perang Dunia Kedua disuruhlah orang Yahudi membentuk Negara Israel di Palestina”.

Buya Hamka berpulang ke Rahmatullah, 24 Juli 1981, telah meninggalkan warisan dan pelajaran yang sangat berharga untuk ditindak lanjuti oleh genarasi Islam, yaitu istiqamah dalam berjuang, menjaga persatuan umat dan peduli terhadap urusan kaum Muslimin.

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."(QS: Al-Hasyr/59: 10). (fn).

http://www.eramuslim.com

Kamis, 14 Februari 2008

Gubernur Sumbar Dukung Larangan Peringatan Valentine


Gubernur Sumbar, H. Gamawan Fauzi mendukung keputusan Pemko Bukittinggi yang melarang semua acara dan bentuk kegiatan menyambut Valentine’s Day (hari kasih sayang).

“Kita umat Islam sudah jelas hari-hari pentingnya, kapan kita puasa dan lainnya,” ujarnya saat menjawab wartawan di sela-sela kegiatan di Kantor Bank Indonesia, Padang, Rabu (13/2) kemarin.

Fauzi mengatakan, Islam telah memiliki hari-hari besar dalam agama sendiri. Jadi, kaum Muslimin tidak perlu lagi merayakan hari yang bukan menjadi hari besar agama Islam.

Apalagi, soal berkasih sayang, Islam telah mengajarkan umat untuk saling menyayangi dan mengasih sesama umat. Bukan satu hari saja, sebagaimana makna dari Valentine' Day tersebut. “Kita berkasih sayang kan bukan satu hari saja, setiap waktu kita diharapkan untuk memberikan kasih sayang kepada sesama umat,” ujarnya.

Sebagaimana diberitakan, langkah berani ini diambil pihak pemerintah kota Bukittinggi setelah melaksanakan musyawarah bersama dengan Muspida hari Selasa lalu. Dengan hasil musyawarah ini, mulai hotel, restoran dan berbagai jenis kegiatan yang mengadakan acara Valentine’s Day (hari kasih sayang) dilarang.

ImagePemerintah kota itu juga melarang acara yang bernuansa maksiat tersebut. Boleh jadi, ini satu-satunya sikap tegas di Indonesia. Walikota Bukittinggi, Drs. H. Djufri, didampingi Wakil Walikota, H. Ismet Amzis, SH., dan Sekda Drs. H. Khairul, menyampaikan hal itu dalam jumpa pers, Selasa (12/2) kemarin. Jumpa pers itu juga dihadiri PHRI Bukittinggi, Kakan Kesbanglinmas, Kakan Sat Pol PP, Kakan Perhubungan, Kakan Pariwisata, Seni dan Budaya, dan Kabag Humas.

“Saya sangat banyak menerima pesan pendek lewat telepon selular saya. Yang intinya melarang adanya perayaan Valentine’s Day di Bukittinggi. Masukan dari masyarakat itu dimusyawarahkan dengan Muspida, dan ternyata Muspida sepakat di Bukittinggi tidak ada acara perayaannya,” tegas Walikota.

Selain banyaknya pesan pendek dari warga, seluruh wartawan yang bertugas di Bukittinggi, juga berharap yang sama. Warga tidak ingin di tanahnya ini ada acara yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Setelah dipelajari ternyata Valentine’s Day itu bukanlah budaya bangsa ini.

“Ajaran agama yang kita anut, yakni Islam melarang acara seperti itu. Meski labelnya hari kasih sayang, toh bila sudah dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan, maka dia jadi terlarang. Agama apapun di muka bumi ini tidak membolehkan penga­nutnya melakukan perbuatan maksiat,” katanya.

Walikota juga menghimbau seluruh warga kota, terutama keluarga yang mempunyai anak perempuan atau anak gadis, agar tidak membolehkan anak gadisnya keluar malam, kecuali dengan alasan penting. Karena selain Pemko dan jajarannya, warga sendiri juga berkewaji­ban membantu menertibkan kota ini.

Untuk lebih terpadunya pengawalan pada malam Kamis lalu, Pol PP bekerjasama dengan Polresta Bukittinggi, Kantor Perhubungan, Kantor Pariwisata dan Kantor Kesbanglinmas melakukan penjagaan di titik-titik rawan dalam kota, di hotel-hotel baik berbintang maupun hotel melati, rumah makan dan restoran serta tempat-tempat keramaian lainnya. Coba semua pemimpin di Indonesia tegas seperti ini. [hsg/cha/www.hidayatullah.com]



Ketua MUI: Perayaan Valentine Haram

Hidayatullah.com--Mejelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, perayaan Valentine dikategorikan amalan yang haram. Pernyataan ini disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, KH. Ma'ruf Amin.

Menurut Kiai Ma’ruf, tata cara dengan pesta yang biasa dirayakan dalam acara Valentine tak dikenal dalam Islam dan cenderung haram. Sebagaimana diketahui, acara Valentina, biasa diperingati dengan cara mabuk-mabukkan, pesta-pesta dan bahkan pertemuan lawan jenis yang bukan suami-istri.

Meski demikian, MUI tidak mengeluarkannya menjadi sebuah fatwa khusus. “Hari Selasa kemarin komisi fatwa berkumpul dan membicarakan. Namun, kami tak mengeluarkan menjadi fatwa khusus,” demikian ujar Kiai Ma’ruf kepada hidayatullah.com Kamis (14/2) pagi melalui sembungan telepon.

Ma'ruf menjelaskan, yang haram bukan hari Valentine-nya, tapi perayaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperingati hari cinta tersebut. Namun cara memperingatinya yang haram karena sudah banyak yang menyimpang," tambahnya.

Sebelum ini, di Arab Saudi mufti, Syeikh Abdul Aziz al-Sheikh pernya menfatwakan, peringatan mengenang santo (sebuah tradisi Kristen) ini termasuk jenis “penyembah berhala”.

ImageTahun 2004 lalu, acara Valentine’s Day di Filipina ditandai dengan mencetak rekor dunia “ciuman massal”. Tidak kurang 5.122 pasangan antre di Manila, ibu kota negara itu, untuk berciuman selama paling tidak 10 detik guna merayakan Valentine. [cha/hid/www.hidayatullah.com]



Selasa, 22 Januari 2008

Awas, Virus Liberal Masuk Pesantren!

Tiap tahun, ratusan santri di pesantren ”diboyong” ke luar negeri. Dengan dana besar dari Barat, penyebaran liberalisme ke pesantren terus gencar.

Suatu hari, salah seorang utusan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) mendatangi KH Kholil Ridwan, ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPPI) se-Indonesia. Utusan ini menyampaikan ajakan kepada Kholil untuk “bertamasya” ke Negeri Paman Bush tersebut. Semua fasilitas dijamin, termasuk uang saku yang tak sedikit. Sungguh tawaran yang menggiurkan!

Tentu saja Kholil tak mau memenuhi undangan tersebut. Ia tahu ada niat tersembunyi di balik ajakan itu. Namun, belum sempat penolakan disampaikan, undangan tersebut buru-buru dicabut. ”Mereka tahu saya ini anti Amerika,” ujar Kholil kepada Suara Hidayatullah.

Kholil tak sendiri menerima ajakan tersebut. Sejumlah kiai juga menerima ajakan serupa. Bedanya, mereka mau memenuhinya, Kholil tidak.

imageMaka, setelah itu, silih berganti kiai-kiai mendapat jatah terbang gratis ke negara AS. Selama di sana, mereka dilayani bagai tamu istimewa. Mereka diajak melihat ”realitas” masyarakat AS.

Hasilnya sungguh fantastis. Mereka yang sejak awal bersuara lantang terhadap kekejaman AS di Irak, Afghanistan, dan negeri Islam lainnya, mulai bersuara parau, jika tak ingin dikatakan lembek. Kata mereka, rakyat AS itu tidak sejahat pemerintahnya.

Menurut Kholil, inilah tanda keberhasilan AS mengubah cara pandang negatif masyarakat Muslim terhadap negaranya. Ini pula awal penyusupan paham liberal ke pesantren.

Meski begitu, tak berarti pesantren yang kiainya terkena bujuk rayu AS langsung dicap sebagai liberal. Mereka hanya perlu diwaspadai. Sebab, upaya AS tentu tak akan berhenti sampai di sini. Mereka akan terus berupaya menyusupkan pemikiran liberalnya ke dalam pesantren tersebut. Sekali kena jaring, boleh jadi selanjutnya kembali terperosok.

Menurut pemerhati pemikiran-pemikiran Barat, Adian Husaini, program Barat sekarang ini ingin membuat ”Islam yang lain” menurut versi mereka. ”Tentu yang menjadi sasaran utama adalah pesantren dan perguruan tinggi Islam sebagai tempat strategis pembinaan umat,” tandasnya.

Muncullah pertanyaan di benak kita, mengapa pesantren begitu mudah disusupi mereka? Apa yang salah? Bagaimana pula pemikiran liberal itu bisa menyusup ke ruang-ruang mengaji di pesantren?

Setidaknya, kupasan Suara Hidayatullah dalam Laporan Utama kali ini bisa menambah khazanah pengetahuan bagi jutaan orangtua yang ingin memasukan anaknya ke pesantren. Selamat membaca.

***
Santri Dirayu, Kiai Digoda

Beberapa tahun lalu, Laskar Santri menggelar unjuk rasa menentang sikap Amerika Serikat (AS) yang represif terhadap umat Islam. Para santri Surakarta ini dengan lantang meneriakan yel-yel anti Yahudi dan AS.

Salah seorang di antara mereka ada yang bernama David Adam Al-Rasyid. Dialah santri paling lantang berteriak di antara demonstran lainnya. Di hadapan massa dia berkata, ”Hancurkan Yahudi! Hancurkan Amerika!”

Kenangan itu kini tinggal rekaman peristiwa masa lalu. Sejak David diundang mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika selama satu tahun, ada yang berbeda dari dirinya.

”Kalau dulu waktu jadi Laskar Santri saya mengatakan, ’Hancurkan Yahudi! Hancurkan Amerika!’ Tapi sekarang, siapa yang mau dihancurkan? Tidak semua orang Amerika jelek,” ujar David saat ditemui Suara Hidayatullah di Pesantren As-Salam, Surakarta, beberapa waktu lalu.

Saat David hendak berangkat ke AS, ia sempat meminta masukan kepada salah seorang kakak kelasnya di pesantren yang sama. Sang kakak kelas memberi wejangan, ”Ternyata Amerika tidak memusuhi Islam.”

Lalu, berangkatlah David ke Negara Paman Sam. Selama di sana, David dititipkan pada keluarga Katolik di Corvallis, Oregon. Menurutnya, keluarga yang ia diami amat toleran. Buktinya, ia bisa melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’an secara rutin.

“Mereka juga bertanya-tanya tentang Islam, mengapa harus shalat? Mengapa harus puasa? Bahkan kadang-kadang mereka menegur saya jika terlambat shalat. Rupanya tidak semua orang Amerika jahat ” kenang David.

Santri asal Yogyakarta ini juga menceritakan kehidupan bebas remaja di sana. Pernah suatu hari, David dikejutkan oleh tangan yang sekonyong-konyong melingkar di pinggangnya. Saat menoleh ke belakang, ternyata tangan itu milik seorang perempuan. Menurut David, di Amerika, hal seperti itu biasa-biasa saja.

David cuma satu dari sekian banyak pelajar Indonesia yang mengikuti program Youth Exchange Study (YES). Program ini diselenggarakan oleh AFS (American Field Service) bekerjasama dengan Yayasan Bina Antara Budaya.

Program ini dirancang setelah peristiwa 11 September 2001, dirancang khusus untuk negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Setiap bulan para peserta dibekali uang saku sebesar 125 dollar AS, atau sekitar Rp 1,2 juta.

Tahun 2007, dari 97 orang pelajar Indonesia yang diberangkatkan, 30 di antaranya dari pesantren seperti Darunnajah, Darul Falah, Insan Cendekia, dan IMMIM Makassar, Sulawesi Selatan.

Suara Hidayatullah sempat menyambangi kantor Yayasan Bina Antara Budaya yang terletak di Jakarta Selatan. Menurut Ketty Darmadjaya, humas yayasan, program ini didesain untuk meningkatkan wawasan santri serta mengubah pandangan masyarakat terhadap pesantren yang selama ini dianggap terbelakang.

Ketty tak menapik kemungkinan tertularnya para santri tersebut dengan paham liberal. “Makanya, sebelum berangkat, kita memberikan orientasi kepada mereka tentang AS. Sepulangnya dari AS, mereka juga kita orientasi kembali. Kita katakan kepada mereka bahwa pengalaman satu tahun di AS bukanlah segalanya. Kita tidak ingin mengubah pandangan mereka terhadap Islam mejadi liberal,” jelasnya.


Bahaya Mengancam

Ternyata, tak hanya santri yang mendapat jatah ’terbang’ ke Amerika. Kiai pimpinan pondok pesantren juga menjadi sasaran untuk diperkenalkan dengan ’wajah manis’ Amerika.

Melalui Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga milik Amerika, mulai pertengahan September 2002, para kiai bergantian bertandang ke negeri itu. Di awal program, lembaga itu mengundang 13 utusan pesantren ’pilihan’ yang berasal dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Menurut KH Kholil Ridwan, Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI), program ini terbukti efektif mengubah pandangan para kiai terhadap Amerika. Banyak kiai yang setelah pulang ke tanah air mengatakan, “ Rakyat Amerika tidak sejahat pemerintahnya. Mereka sangat baik.”

Kholil, yang juga Ketua MUI, menolak keras pernyataan para kiai itu. “Di mana sikap baiknya rakyat Amerika? Amerika menyerang Irak atas persetujuan kongres, lalu kongres itu kan wakil rakyat. Jadi, artinya, rakyat Amerika sama jahatnya dengan pemerintahnya,” ungkap pengasuh Ponpes al-Husnayain ini.

Apabila sikap kiai-kiai itu melunak kepada Amerika, kata Kholil lagi, maka liberalisasi akan sangat mudah masuk ke pesantren. Kalau pesantren sudah terjangkit virus liberalisasi, maka akan berdampak pula terhadap pola pikir santrinya.

Nah, santri-santrinya ini pada akhirnya akan menjadi guru madrasah. Kalau gurunya liberal, bisa dipastikan murid-muridnya juga liberal. Generasi muda kita menjadi liberal semua. Perjuangan umat Islam pun melemah. “Ini sangat berbahaya!” Kholil memperingatkan.

Hal yang sama juga diungkap Adian Husaini, salah seorang ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). ”Salah satu kelemahan pesantren adalah tidak bisa memberikan framework (bingkai) yang jelas kepada para santrinya,” jelas Adian.

Santri hanya ditekankan pada satu aspek saja, misalnya, fiqih atau lughah (bahasa). Tapi, framework menghadapi tantangan berfikir kadang kurang.

Salah satu pesantren yang telah membekali santrinya untuk menghadapi tantangan berfikir, kata Adian, adalah Gontor. ”Di Gontor, santri yang akan lulus diberi bekal agar bisa menyiapkan diri menghadapi pemikiran Barat. Kalau tidak, ya, dia akan menganggap itu sebagai hal yang benar,” jelasnya. .



Proyek besar penyebaran liberal ke pesantren disinyalir didanai oleh LSM asing yang cabangnya berada di Indonesia, yaitu The Asia Foundation (TAF). Lembaga donor yang disponsori Barat ini telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1955. Beberapa ormas dan lembaga Islam menjadi mitra utama mereka.

Dalam situs resminya www.asiafoundation.org lembaga yang menjadi perpanjangan tangan para saudagar Yahudi ini banyak membantu LSM Indonesia yang giat menyosialisasikan sekularisme, pluralisme dan liberalisme (baca; SePiLis). Sebut saja, misalnya, Jaringan Islam Liberal (JIL), P3M, International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Wahid Insitute, Maarif Institue, MADIA, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Laporan tahunan TAF 2006 menyebutkan, sejak tahun 2000 mereka telah membuat kurikulum kewarganegaraan yang mendukung nilai-nilai demokrasi, mendorong siswa berpikir kritis terhadap isu-isu demokrasi, HAM, dan pluralisme agama. Untuk mewujudkan ini mereka menggandeng CCE Indonesia (pusat pendidikan kewarganegaraan).

Kurikulum itu kini telah menjadi materi wajib di seluruh UIN dan IAIN di seantero Indonesia. Bahkan, mereka tengah berupaya mengembangkan kurikulum serupa untuk diterapkan di universitas Islam swasta.

Para mitra TAF telah memberikan pelatihan kurikulum baru ini kepada 90 dosen kewarganegaraan dari 66 universitas Islam swasta pada tahun 2006. Para dosen tadi sudah mulai mengajarkan kurikulum tersebut kepada sekitar 20.000 mahasiswa mereka.

Pasca 11/9

Proyek liberalisasi pendidikan Islam semakin deras arusnya setelah peristiwa 11 September. Workshop-workshop bertema liberal banyak digelar atas dukungan TAF dan ICIP.

Berapa dollar AS yang digelontorkan kedua organisasi ini untuk proyek liberalisasi Indonesia? Robin Bush, Deputy Country Representative TAF untuk Indonesia, saat ditanya Suara Hidayatullah tentang itu tidak bersedia menjawabnya. Begitu juga Elfiqa D Siregar, salah satu staf ICIP, saat ditemui di kantornya di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta, juga tidak menyebutkan jumlah pasti. Ia cuma menyebut salah satu nama lembaga pemasok dana, Ford Foundation.

Namun, Robin menolak anggapan bahwa lembaganya disebut membawa misi liberalisasi. “Kami di TAF sama sekali tidak punya program liberalisasi,” ujarnya saat ditemui di kantor TAF, jl Adityawarman no 40, Jakarta Selatan.

“Kami bekerja sama dengan pesantren karena tahu lembaga pendidikan ini erat kaitannya dengan masyarakat kelas bawah. Ini sesuai dengan apa yang menjadi benang merah dari semua misi TAF, yaitu good governence, serta meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia,” terangnya lagi.

Menurut Bush, TAF tidak pernah menawarkan sesuatu kepada pesantren atau lembaga-lembaga Islam. ”Semua program yang dijalankan TAF adalah inisiatif mitra kami. Mereka datang ke kami dengan ide, bukan kami datang ke mereka dengan ide,” kata bule yang sudah lancar berbahasa Indonesia ini.

Hal senada juga disampaikan Elfiqa. ”Saya pribadi melihat tuduhan itu nggak benar. Saya turun langsung ke lapangan, saya lihat tidak ada. Tidak ada doktrin-doktrin itu,” jelasnya.

Apa pun perkataan mereka, faktanya, TAF dan ICIP telah banyak menggelontorkan program liberalisasi. Bahkan, kalau melihat visi dan misinya, jelas tujuan ICIP adalah mempromosikan pluralisme. Apalagi jika melihat daftar orang-orang yang duduk di jajaran dewan direktur. Di sana ada Moeslim Abdurrahman, Musdah Mulia, dan Ulil Abshar Abdalla. Siapa mereka? Pembaca pasti sudah tahu.



Diajak Dansa, Jilbab Dibuka
Saat mengikuti program pertukaran pelajar di Amerika Serikat, David Adam Al Rasyid merasakan betapa bebas pergaulan di sana. Saking bebasnya, ada peserta dari negara lain yang tak tahan.

”Peserta dari Saudi dan Jerman pulang sebelum program selesai,” ujar santri Pondok Pesantren As-Salam, Surakarta, itu.

Bagaimana dengan pelajar dari Indonesia? ”Banyak juga teman-teman yang ikutan dugem,” jawab David. Dugem adalah singkatan dari dunia gemerlap, yaitu kehidupan malam di diskotik dan cafe. David sendiri mengaku tak pernah ikut-ikutan.

Ironisnya, ada salah satu peserta Muslimah yang rela melepas jilbab saat diajak berdansa. “Supaya tidak malu, ia lepas jilbabnya. Tapi, dia dari SMU luar (bukan pesantren),” kenangnya. Nau'zubillah minzalik!
[diambil dari Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2008/www.hidayatullah.com ]