Jumat, 23 November 2007

Berdusta Yang Dibolehkan

Semua orang mungkin sepakat kalau berdusta adalah salah satu perbuatan yang sangat tercela. Bukan hanya saja tercela dalam pandangan manusia, tapi juga tercela dalam pandangan Allah subhanahu wata’ala.

Hukum asal dari dusta itu sendiri adalah haram dan wajib untuk dijauhi. Pertanyaannya adalah apakah ada dusta yang dibolehkan dalam ajaran Islam ini? Tentunya ini sangat menarik untuk kita bahas dalam bulletin kita kali ini.

Selama ini yang kita tahu bahwa dusta adalah perbuatan yang sangat buruk dan tidak boleh dikerjakan atau hukumnya haram secara mutlak. Kemudian ada juga yang kebablasan menganggap bahwa dusta adalah perbuatan yang lumrah dikerjakan, apalagi di jaman sekarang ini, rasanya suatu yang mustahil dan aneh kalau ada orang yang tidak pernah berdusta dalam hidupnya. Dusta bagi mereka merupakan bagian dari kebiasaan hidup mereka, sehingga kita akan menemukan hampir di setiap tempat di situ ada dusta. Apakah di sekolah, di perkantoran, di dalam rumah tangga, di pasar-pasar dan banyak lagi tempat-tempat yang tidak mungkin kita sebutkan semuanya.

Orang tua berdusta, anak berdusta, atasan berdusta, bawahan berdusta, pembeli berdusta, pedagang apalag. Intinya hidup mereka dipenuhi dengan dusta. Seakan-akan perbuatan ini bukan perbuatan yang tercela atau berdosa bagi orang yang melakukannya.

Banyak sekali dalil-dalil yang menjelaskan tentang larangan atau haramnya berdusta, baik di dalam al-Qur'an maupun al-Hadits.

Dalil-dalil tentang Larangan Dusta

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,


"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. 17:36)

Dalam ayat lain, artinya,

"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir". (QS. 50:18)


Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ayat-ayat di atas merupakan dalil-dalil yang mengharamkan dusta, terlebih lagi dusta atas nama Allah subhanahu wata’ala dan RasulNya, seperti mengatakan Allah subhanahu wata’ala berfirman begini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda begini, atau menafsirkan perkataan keduanya tanpa makna yang sebenarnya padahal keduanya tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Dan perbuatan semacam ini tergolong ke dalam perbuatan dosa besar (al-kabâir). Sebagaimana telah dijelaskan di dalam al-Qur'an, artinya, "Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguh nya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS. 6:144)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia menyiapkan bangkunya di neraka". (Muttafaq 'alaih)

Rasulullah bersabda, “Jauhkan lah oleh kalian perbuatan dusta, maka sesungguhnya dusta itu menunjukkan/mengantarkan ke jalan kemaksiatan dan sesungguhnya kemaksiatan itu menyeret ke dalam neraka." (Muttafaq'alaih)

Dusta di samping ia adalah perbuatan tercela dan diharamkan, juga merupakan bagian dari ciri-ciri orang-orang munafiq. Hal ini juga dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Ciri-ciri orang munafiq ada tiga: apabila berbicara ia dusta, dan apabila berjanji, ia mengingkari, dan apabila dipercaya dia berkhianat". (Muttafaq 'alaih).

Bohong yang Dibolehkan

Seorang muslim yang baik tentunya tahu bahwa semua perbuatan nya akan diminta pertanggungjawaban nya kelak di Mahkamah Allah subhanahu wata’ala yang Maha 'Adil. Maka ia terlihat begitu hati-hati dan penuh perhitungan dalam melakukan segala sesuatunya. Baik yang berupa ucapan maupun tindakan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. 17:36)

Ia sangat faham betul kalau dirinya selalu diawasi Allah subhanahu wata’ala, dan setiap amalnya selalu punya catatan dan nilai disisi-Nya. Sekecil apa pun amalan tersebut ia selalu memperhatikannya dan tidak sedikit pun ia remehkan. Ia selalu berusaha untuk jujur dan benar dalam segala perbuatan nya. Bahkan ia lebih memilih diam dari pada mengucapkan sesuatu yang tidak baik dan merugikan orang lain, berdusta misalnya. Sebagaimana ia tahu Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir". (QS. 50:18)

Dalam ayat lainnya Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.”Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. 99:7-8)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah ia mengucapkan ucapan yang baik atau lebih baik ia diam". (Muttafaq'alaih)

Kendati demikian, kejujuran terkadang bisa menjadi sesuatu yang tidak dianjurkan dalam agama ini, ketika kejujuran tersebut ternyata jelas-jelas tidak membawa maslahat yang besar dan mulia, justru sebaliknya malah mendatangkan mudharat. Dalam hal ini, maka dusta menjadi dibolehkan dalam agama ini, bahkan terkadang ia menjadi wajib untuk dilakukan.

Tentunya ada syarat-syarat tertentu sehingga dusta menjadi dibolehkan bahkan dianjurkan. Intinya adalah bahwa, "Perkataan atau suatu ucapan merupakan sarana untuk mencapai maksud yang diinginkan.” Maka setiap maksud yang terpuji memungkinkan/dapat diraih atau dicapai dengan tanpa berdusta/berbohong, maka berdusta pada saat itu hukumnya haram. Tetapi jika tidak memungkinkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan kecuali hanya dengan berdusta, maka dusta pada kondisi seperti ini dibolehkan".(lihat di kitab al-Adzkar, al-Imam an-Nawawi).

Bahkan para ulama menjelaskan seputar hukum tentang dibolehkannya berdusta dengan syarat-syarat sebagaimana di atas, kalau maksud yang dicapai adalah sesuatu yang mubah, maka dusta saat itu dihukumi mubah. Sedangkan jika maksud yang akan dicapai adalah sesuatu yang wajib maka dusta saat itupun menjadi wajib hukumnya. Contoh kasus, seseorang yang bersembunyi dari orang yang zhalim yang ingin membunuhnya, atau mau merampas hartanya. Lalu saat itu ada si fulan yang tahu dan ditanya tentang keberadaannya dan keberadaan harta tersebut. Maka wajib baginya berdusta demi menyelamatkan orang yang akan dianiaya tersebut dengan mengatakan tidak tahu atau menunjuk kan tempat lain. Karena menyelamatkan orang yang tidak bersalah (orang baik) dari kezhalimaan hukumnya adalah wajib. Sebagaimana kaidah "Apa yang tidak menyempurnakan sesuatu yang wajib kecuali dengannya, maka ia adalah wajib". Tetapi sebagian ulama berpendapat (di antaranya: al-Imam an-Nawawi rahimahullah, syaikh Ibnu Utsaimin hafizhahullah) bahwa sikap yang lebih hati-hati dan lebih utama dalam hal ini adalah melakukan 'Tauriyah', maksudnya adalah mengungkapkan suatu maksud yang benar dan tidak berdusta jika disandarkan kepada maksudnya tersebut (maksud dari ucapannya) walaupun ia berdusta dalam sisi zhahir lafadznya jika disandarkan kepada apa yang dipahami dan diminta oleh lawan bicaranya. Walaupun meninggalkan tauriyah dan tetap dengan ungkapan yang dusta tidak diharamkan dalam kondisi seperti ini. Contohnya: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membonceng Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu di atas kendaraan beliau, maka jika ada seseorang yang bertanya kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah perjalanan, beliau mengatakan, "Ini adalah seorang penunjuk jalanku”. Maka orang yang bertanya tersebut mengira bahwa jalan yang dimaksud adalah makna haqiqi, padahal yang dimaksud oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah jalan kebaikan (sabîlul khair)”. Semata-mata demi kemaslahatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari ancaman musuh-musuh beliau.” (HR. al-Bukhari)

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah dikatakan pendusta orang yang mendamaikan manusia (yang berseteru), melainkan apa yang dikata kan adalah kebaikan". (Muttafaq 'Alaih)

Imam Muslim menambahkan dalam suatu riwayat, berkata Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha, "Aku tidak pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah pada apa yang diucapkan oleh manusia (berdusta) kecuali dalam tiga perkara, yakni: perang, mendamaikan perseteruan/perselisihan di antara manusia, dan ucapan suami kepada istrinya, atau sebaliknya".
Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kita, Wallahua'lam bish-shawab.
(Abu Nabiel Muhammad Ruliyandi)
Sumber:
"Syarh Riyadhis Shalihin", Syaikh Ibnu Utsaimin.

Diambil dari : www.alsofwah.or.id





Kamis, 22 November 2007

Hikmah Al Quran Diturunkan Secara Bertahap

Salah satu hikmah diturunkannya al Qur’an secara bertahap adalah untuk mengokohkan hati Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Karena wahyu yang diturunkan pada setiap kejadian itu akan lebih memperteguh kepercayaan di dalam hati dan memperkuat inayah (pertolongan) Alloh Subhaanahu wa Ta’ala kepada Nabi yang menerimanya.

Disamping itu dengan diturunkannya al Qur’an secara bertahap maka akan memudahkan kaum muslimin untuk lebih mudah dalam menghafalnya dan memahaminya serta mengamalkannya. Sehubungan dengan ini Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, yang artinya: "Pelajarilah al Qur’an lima ayat-lima ayat" (HR: al Baihaqi dalam Kitab Syu’abul Iman)

Dari Utsman, Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhum, menjelaskan bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam senantiasa membacakan sepuluh ayat kepada mereka. Mereka tidak pindah kepada sepuluh ayat yang lain sebelum mempelajari pengamalannya, “Sehingga kami mempelajari al Qur’an dan pengamalannya sekaligus” (Tafsir al Qurthubi I/39 dan Tafsir ath Thabari I/60)

Contoh yang paling jelas tentang hikmah diturunkannya al Qur’an secara bertahap adalah tahapan pembentukan tasyri tentang diharamkannya khamr.

Pertama turun firman Alloh Subhaanahu wa Ta’ala, yang artinya: "Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik" (QS: An Nahl: 67)

Kemudian turun firman Alloh Subhaanahu wa Ta’ala yang berikutnya, yang artinya: "Mereka bertanya kepadamu soal khamr dan judi. Katakanlah, pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, namun dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" (QS: Al Baqarah: 219)

Ayat ini membandingkan manfaat khamr yang temporer dengan mudharatnya. Disamping pelakunya mendapat dosa, khamr juga mengakibatkan rusaknya badan dan akal pikiran, menghabiskan harta benda serta mengakibatkan timbulnya perbuatan maksiat.

Setelah ayat tersebut menjelaskan bahwa mudharatnya lebih besar ketimbang manfaatnya, kemudian turun firman Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berikutnya, yang artinya: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mendekati (melaksanakan) shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan" (QS: An Nahl: 43)

Dengan turunnya ayat ini, mereka mengerti bahwa khamr diharamkan pada waktu shalat. Setelah ayat di atas, baru diturunkan ayat yang secara tegas melarang khamr, yang artinya: "Hai orang-orang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS: Al Maidah: 90)

Berkaitan dengan hal tersebut Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata, yang artinya: "Sesungguhnya surat yang mula-mula turun adalah surat pendek yang di dalamnya disebutkan adanya surga dan neraka, sehingga jika manusia telah memeluk Islam, maka diturunkan ayat tentang halal dan haram. Seandainya ayat pertama kali turun adalah, ‘Janganlah kalian meneguk khamr’, pastilah mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya" (HR: al Bukhari). (mt)

(Sumber Rujukan: Kitab Syu’abul Iman; Tafsir al Qurthubi; Tafsir ath Thabari)

Diambil dari : http://www.mediamuslim.info

Keutamaan Menjenguk Orang Sakit

Mengunjungi dan membesuk orang sakit merupakan kewajiban setiap muslim, utamanya orang yang sangat jelas hubungannya dengan dirinya, seperti kerabat dekat, tetangga, saudara senasab, sahabat dan yang semisalnya. Menjenguk orang sakit adalah di antara amal shalih yang paling utama yang dapat mendekatkan kita kepada Alloh Subhannahu wa Ta'ala, kepada ampunan, rahmat dan SorgaNya.

Mengunjungi orang sakit merupakan perbuatan mulia, di dalamnya terdapat keutamaan yang sangat agung, pahala yang sangat besar dan ia adalah salah satu hak setiap muslim terhadap muslim lainnya. (HR: Muslim).

Rasululloh shallAllohu 'alaihi wasallam bersabda, yang artinya: "Apabila seorang laki-laki menjenguk saudara muslimnya (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Sorga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo'akannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendo'akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba." (HR: At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).

Terakhir, hendaknya yang membesuk mendo'akan si sakit: "Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh." (HR: Al-Bukhari).

(sumber Rujukan: Al-Hadiqatul Yani'ah minal 'Ulumin Nafi'ah, Syaikh Ibrahim bin Jarullah Al-Jarullah)

diambil dari : http://www.mediamuslim.info